hari ini saya kembali ke tengah keluarga, walau cuma sebentar, walau cuma keluarga bibi. Di cimahi. Karena, ya itu, pemilu presiden. Dan saya terdaftar sebagai pemilih di tempat bibi.
BAnyak hal yang menarik di sana. Sepupu saya yang kemarin anak-anak, taunya sekarang sudah remaja. Bedanya keliatan banget. Lalu bermacam-macam cerita yang saya dengar tentang hidup masing-masing mereka. Sadarlah saya bahwa di tengah keluarga, ada hal-hal lain yang terasa--dan takkan pernah ditemui dalam kesendirian.
Kemudian rasa rindu untuk berada di tengah keluarga perlahan mengalir di dada.
Tapi, ada satu hal yang saya sadari. Keluarga yang saya rindukan adalah sebuah keluarga yang didalamnya, saya menjadi tonggak. Dan mungkin itu berarti sebuah keluarga yang lahir kala tiba saat saya menikah.
Ada yang mau menikah? :)
saya pikir ada baiknya saya bersegera. Toh, di depan, yang ada adalah hamparan luas kebebasan untuk membentuk masa depan. dan keluarga, membuat pilihan menjadi lebih mudah.
Monday, July 05, 2004
Sunday, July 04, 2004
menimbang rencana masa depan
semoga keselamatan dan rahmat dariNya,
senantiasa menjadi udara yg mengalir dalam tarikan-tarikan nafas kita.
Hari-hari ini adalah awal dari sebuah akhir.
nyaris tujuh tahun hidup ditengah komitmen akademik--yang begitu kuasa memasang pagar tinggi-tinggi di sekeliling kebebasan saya untuk mengisi hari. Dan saat ini, satu demi satu pagar-pagar itu mulai tercabut. Lalu kebebasan kembali membentang--untuk sekali lagi memberikan pilihan-pilihan sulit.
Ya, tak lebih dari sebulan lagi, pagar-pagar itu akan rata dengan tanah. Apapun yg terjadi selama sebulan ini. sementara, masih ada beberapa pertanyaan yg mengisi ruang pikiran.
bagaimana harus berdamai dengan masa lalu, dan menyatu dengan masa kini.., sehingga masa depan adalah pencapaian yang langkah pertamanya dimulai pada hari ini?
Nyatanya saya harus menyerah dengan fakta bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu, seberapapun saya kecewa akannya, sudah menjadi keabadian untuk saya. Dan toh, saya masih juga tidak bisa memahaminya. Saya menerimanya. hanya itu yang bisa dirasakan saat ini.
Mungkin dengan begitu, masa depan sudah dapat dimulai dari hari ini. Mungkin sudah saatnya memandang hidup sebagai apa yang ada digenggaman. Tapi, :) masih ada tapi ternyata.
Ada saat di masa lalu, dimana sebuah cita-cita dipancangkan. Dengan semangat yang meledak-ledak. Dan kini, ada saat dimana nurani bertanya : apakah itu adalah suatu takdir, atau hanya sebuah lontaran naif dari jiwa remaja yang sedang belajar memahami harga dari kehidupan?
Jikalah itu suatu takdir, jalan apa yang akan mengantarkan manusia kecil ini ke sana?
Kalaulah itu hanya sebuah lontaran, jadi itu takdir siapa?
Nyatanya saya tidak pernah merasa yakin bahwa urusan saya dengan masa lalu sudah selesai--sebarapa pun saya berusaha menerimanya meski tak juga memahami dengan penuh.
Ah, maafkan.
Lanturan tak tentu arah ini tentu terdengar sangat "keakuan". Seakan persoalan hidup hanyalah di sekitaran diri sendiri. Bahwa saya tak jua memahami bagaimana menanggung masa lalu.. mungkin itu yang ingin dituliskan di sini. Dan sambil berharap bahwa permakluman akan ada dengan tulus dari siapapun yang merasa--dan memang--berhak untuk menagih sesuatu dari masa lalu saya.
Yah.. masa depan akan dimulai dari hari ini.
Karena rasanya saya masih harus yakin bahwa Tuhan itu Maha Memahami kelemahan seorang hambaNya. Jikalah ada takdirNya yg hendak Ia jadikan pada diri ini, tentu akan ada jalan yang mengantarkan ke sana. Dan semoga pada titik itu, jejak langkah kita bisa kembali bertemu.
Entah kapan.
senantiasa menjadi udara yg mengalir dalam tarikan-tarikan nafas kita.
Hari-hari ini adalah awal dari sebuah akhir.
nyaris tujuh tahun hidup ditengah komitmen akademik--yang begitu kuasa memasang pagar tinggi-tinggi di sekeliling kebebasan saya untuk mengisi hari. Dan saat ini, satu demi satu pagar-pagar itu mulai tercabut. Lalu kebebasan kembali membentang--untuk sekali lagi memberikan pilihan-pilihan sulit.
Ya, tak lebih dari sebulan lagi, pagar-pagar itu akan rata dengan tanah. Apapun yg terjadi selama sebulan ini. sementara, masih ada beberapa pertanyaan yg mengisi ruang pikiran.
bagaimana harus berdamai dengan masa lalu, dan menyatu dengan masa kini.., sehingga masa depan adalah pencapaian yang langkah pertamanya dimulai pada hari ini?
Nyatanya saya harus menyerah dengan fakta bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu, seberapapun saya kecewa akannya, sudah menjadi keabadian untuk saya. Dan toh, saya masih juga tidak bisa memahaminya. Saya menerimanya. hanya itu yang bisa dirasakan saat ini.
Mungkin dengan begitu, masa depan sudah dapat dimulai dari hari ini. Mungkin sudah saatnya memandang hidup sebagai apa yang ada digenggaman. Tapi, :) masih ada tapi ternyata.
Ada saat di masa lalu, dimana sebuah cita-cita dipancangkan. Dengan semangat yang meledak-ledak. Dan kini, ada saat dimana nurani bertanya : apakah itu adalah suatu takdir, atau hanya sebuah lontaran naif dari jiwa remaja yang sedang belajar memahami harga dari kehidupan?
Jikalah itu suatu takdir, jalan apa yang akan mengantarkan manusia kecil ini ke sana?
Kalaulah itu hanya sebuah lontaran, jadi itu takdir siapa?
Nyatanya saya tidak pernah merasa yakin bahwa urusan saya dengan masa lalu sudah selesai--sebarapa pun saya berusaha menerimanya meski tak juga memahami dengan penuh.
Ah, maafkan.
Lanturan tak tentu arah ini tentu terdengar sangat "keakuan". Seakan persoalan hidup hanyalah di sekitaran diri sendiri. Bahwa saya tak jua memahami bagaimana menanggung masa lalu.. mungkin itu yang ingin dituliskan di sini. Dan sambil berharap bahwa permakluman akan ada dengan tulus dari siapapun yang merasa--dan memang--berhak untuk menagih sesuatu dari masa lalu saya.
Yah.. masa depan akan dimulai dari hari ini.
Karena rasanya saya masih harus yakin bahwa Tuhan itu Maha Memahami kelemahan seorang hambaNya. Jikalah ada takdirNya yg hendak Ia jadikan pada diri ini, tentu akan ada jalan yang mengantarkan ke sana. Dan semoga pada titik itu, jejak langkah kita bisa kembali bertemu.
Entah kapan.
Subscribe to:
Posts (Atom)