Tiga hari kemarin, kamis hingga sabtu, saya kembali ke tanah jawa, semarang.
Pada hari-hari itu, puasa terasa lebih berat secara fisik. Ya, semua tahu kalau semarang itu panas. Tapi, rekan saya di sini [baca:semarang] pun bilang bahwa hari-hari itu lebih panas dari biasanya. Dan sepertinya itu yang membuat saya melihat di sini banyak orang tidak puasa. Belum tengah hari, saya sudah mulai melihat orang mengunjungi warung untuk minum es teh dan makan. Tampak lazim saja. Seperti bukan di bulan puasa. Entah karena kerja berat yang memaksa, atau memang enggan dengan beban cuaca seberat ini, atau mereka memang bukan muslim. Saya tidak tahu.
Disisi lain, cuaca panas itu juga yang membantu saya untuk mempersepsi keadaan di sekeliling tidak secara fisikal. Dalam panas seperti itu, kita justru berusaha abai dengan sensasi-sensasi fisikal yang sama sekali tidak nyaman. Berbeda sekali dengan nikmatnya kesejukan Bandung setiap pagi.
Persepsi non fisikal itu, kemudian seringkali membuat kontemplasi hadir dengan mudahnya di tengah siang hari bolong yang teriknya minta ampun. Saat itu, simpanglima yang adalah pusat keramaian kota, bisa jadi hening, ketika semua orang akhirnya menahan diri untuk berbuat sesuatu. Dalam pada itu, manusia begitu mudah tersadar bahwa dirinya kecil di tengah kekuatan alam. Dan pada saat itulah.. kehidupan tampil sebagaimana seharusnya. Saat manusia menyadari kekecilan dirinya di tengah kehidupan ini. Tak heran, untuk saya, lebih mudah mencari kedamaian di kota ini, lebih mudah mengingat Tuhan di kota ini, daripada di Bandung dimana ego manusia begitu terekspresi secara eksplisit—jikalah tak ingin dikatakan vulgar. Bandung adalah kota yang sangat “human constructed”, sementara semarang sebegitu alami dan bersahaja.
Pada hari-hari itu, puasa terasa lebih berat secara fisik. Ya, semua tahu kalau semarang itu panas. Tapi, rekan saya di sini [baca:semarang] pun bilang bahwa hari-hari itu lebih panas dari biasanya. Dan sepertinya itu yang membuat saya melihat di sini banyak orang tidak puasa. Belum tengah hari, saya sudah mulai melihat orang mengunjungi warung untuk minum es teh dan makan. Tampak lazim saja. Seperti bukan di bulan puasa. Entah karena kerja berat yang memaksa, atau memang enggan dengan beban cuaca seberat ini, atau mereka memang bukan muslim. Saya tidak tahu.
Disisi lain, cuaca panas itu juga yang membantu saya untuk mempersepsi keadaan di sekeliling tidak secara fisikal. Dalam panas seperti itu, kita justru berusaha abai dengan sensasi-sensasi fisikal yang sama sekali tidak nyaman. Berbeda sekali dengan nikmatnya kesejukan Bandung setiap pagi.
Persepsi non fisikal itu, kemudian seringkali membuat kontemplasi hadir dengan mudahnya di tengah siang hari bolong yang teriknya minta ampun. Saat itu, simpanglima yang adalah pusat keramaian kota, bisa jadi hening, ketika semua orang akhirnya menahan diri untuk berbuat sesuatu. Dalam pada itu, manusia begitu mudah tersadar bahwa dirinya kecil di tengah kekuatan alam. Dan pada saat itulah.. kehidupan tampil sebagaimana seharusnya. Saat manusia menyadari kekecilan dirinya di tengah kehidupan ini. Tak heran, untuk saya, lebih mudah mencari kedamaian di kota ini, lebih mudah mengingat Tuhan di kota ini, daripada di Bandung dimana ego manusia begitu terekspresi secara eksplisit—jikalah tak ingin dikatakan vulgar. Bandung adalah kota yang sangat “human constructed”, sementara semarang sebegitu alami dan bersahaja.
Panas memang identik dengan kota ini. Itu juga yang membuat banyak orang memperoleh kenangan justru dari sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan itu. Saya sendiri masih mengenang dengan indah masa-masa SMP yang penuh peluh karena tiap pagi dan siang harus berkejaran meraih bis kota. SMP saya SMP 2 semarang, bekas SMP jaman belanda: MULO.
mulo
debu itu melayang
deru mesin, teriak suara, peluh mengalir
matahari di atas kepala
angin kering bertiup membawa gerah
debu itu melayang
wajah tak lagi sejuk, hanya hati menyejuk
kota mengajak tawadhu
dan,
debu itu melayang
hati ini melengang
menyadari diri ini hanyalah debu
dan,
debu itu melayang
melekat pada peluh dahi
sesaat kemudian,
air wudhu membasuhnya mengalir turun
wajah menyejuk hati melengang tangan bersedekap
matahari di atas kepala
sepuluh tahun yang lalu.
mulo
debu itu melayang
deru mesin, teriak suara, peluh mengalir
matahari di atas kepala
angin kering bertiup membawa gerah
debu itu melayang
wajah tak lagi sejuk, hanya hati menyejuk
kota mengajak tawadhu
dan,
debu itu melayang
hati ini melengang
menyadari diri ini hanyalah debu
dan,
debu itu melayang
melekat pada peluh dahi
sesaat kemudian,
air wudhu membasuhnya mengalir turun
wajah menyejuk hati melengang tangan bersedekap
matahari di atas kepala
sepuluh tahun yang lalu.
semarang, 2002
.
Hari kamis dini hari, saya tiba di semarang. Naik bis kramat jati. Ketika bus itu mulai memasuki kota semarang, kesibukan pasar karangayu—sebuah rutinitas harian yang selalu menyambut setiap kali saya kembali ke kota ini—menyambut dengan kesederhanaannya. Mereka telah ramai sejak pukul 2 pagi. Mas-mas tukang becak; mbok-mbok bakul yang jauh-jauh datang dari Tugu, Gunungpati, dan Kendal; ibu-ibu yang tinggal di perumahan sekitar pasar, semua jadi satu di pasar yang ramai dan becek itu, bertransaksi, terus hingga pagi hari. Terkadang bertanya, sempatkah mereka menunaikan shalat subuh yang hanya dua rakaat itu? Saya tak tahu. Tak pernah mencari tahu.
Kemudian, ketika turun dari bis di bundaran indraprasta—ini masih jauh dari rumah saya di daerah pedurungan, semarang timur—saya segera oper ke angkot. Supirnya tentu orang jawa tulen. Tak ada orang batak yang jadi supir angkot di semarang. Jadi tak juga kita akan mendengar bahasa jawa berlogat batak.
Supir-supir angkot di kota semarang selalu berbahasa jawa. Mereka akan tampak sangat terpaksa dan kaku jika harus berbahasa indonesia. Ya, begitu adanya. Meski semarang adalah ibukota propinsi, absorbsi budaya luar tidak pernah signifikan. Kota ini adalah kota orang kecil, yang tidak terlalu suka dengan modernisasi dan gaya import. Kalaupun sekali dua kali mereka mencoba bergaya import, tak lama kemudian mereka meninggalkannya. Kami cukup tahu diri bahwa sebagus apapun gaya import itu, kami tak pernah cocok menggunakannya. Kulit kami coklat gosong karena terik matahari, badan kami bau keringat, wajah dan rambut kami kotor karena debu, akan tampak seperti lelucon kalau bergaya import. Mungkin mojang dan jajaka yang cantik-bersih-gagah-segar di bandung sana cocok dengan gaya itu, tapi kami tidak. Itulah apa adanya. Dari dulu hingga sekarang, tak banyak yang berubah. Semoga terus seperti itu. Kalaulah kita inginkan perubahan, yang diperlukan adalah perubahan karakter dan etos hidup.
Kota ini memang begitu proletar. Meski ada orang kaya, disini mereka harus menyesuaikan diri dengan yang miskin. Karena disini, yang miskin tak pernah tahu bagaimana bisa menyesuaikan diri dengan yang kaya. Ya, bagaimana bisa?
Sedangkan Bandung, tampak sebegitu borjuis. Dan yang miskin pun, entah bagaimana mereka bisa, menyesuaikan diri dengan yang kaya itu. Dengan Nike ala cicadas, edward forrer made in cibaduyut, issey miyake pasar jumat salman. Yah, kota yang borjuis. Sebagaimana sejak semula meneer belanda membangun kota itu.
Kedamaian di tengah kesederhanaan. Sampai kapanpun, di tengah carut marut sekalipun, kesederhanaan akan tetap dapat membantu kita untuk melihat kehidupan sebagaimana seharusnya. Kesederhanaan selalu menampilkan semua—yang baik maupun buruk, yang sopan ataupun yang ndugal—apa adanya. Tak ada ego dan topeng yang dapat menutupi itu semua. Saat itulah kehidupan tampil sebagaimana seharusnya.
Di semarang, dalam keadaan seperti ini, kebenaran mudah terlihat, untuk kemudian diresapi, dijiwai, dan dibagi dengan mereka : orang-orang yang disekitar kita yang hatinya miskin karena didesak kemiskinan nafkah, yang jiwanya kering karena sawah dan bibir mereka kering kehausan.
Itulah mengapa saya selalu merindukan tanah jawa. Meski harus disekap terik sepanjang hari. Meski saya bukan keturunan jawa. Itulah mengapa hati ini masih merasa harus kembali ke semarang. Meski kenyamanan bandung yang memanjakan, dapat menawarkan sejuta kemudahan hidup.
Semoga tak tertahan kaki ini untuk kembali.
Kemudian, ketika turun dari bis di bundaran indraprasta—ini masih jauh dari rumah saya di daerah pedurungan, semarang timur—saya segera oper ke angkot. Supirnya tentu orang jawa tulen. Tak ada orang batak yang jadi supir angkot di semarang. Jadi tak juga kita akan mendengar bahasa jawa berlogat batak.
Supir-supir angkot di kota semarang selalu berbahasa jawa. Mereka akan tampak sangat terpaksa dan kaku jika harus berbahasa indonesia. Ya, begitu adanya. Meski semarang adalah ibukota propinsi, absorbsi budaya luar tidak pernah signifikan. Kota ini adalah kota orang kecil, yang tidak terlalu suka dengan modernisasi dan gaya import. Kalaupun sekali dua kali mereka mencoba bergaya import, tak lama kemudian mereka meninggalkannya. Kami cukup tahu diri bahwa sebagus apapun gaya import itu, kami tak pernah cocok menggunakannya. Kulit kami coklat gosong karena terik matahari, badan kami bau keringat, wajah dan rambut kami kotor karena debu, akan tampak seperti lelucon kalau bergaya import. Mungkin mojang dan jajaka yang cantik-bersih-gagah-segar di bandung sana cocok dengan gaya itu, tapi kami tidak. Itulah apa adanya. Dari dulu hingga sekarang, tak banyak yang berubah. Semoga terus seperti itu. Kalaulah kita inginkan perubahan, yang diperlukan adalah perubahan karakter dan etos hidup.
Kota ini memang begitu proletar. Meski ada orang kaya, disini mereka harus menyesuaikan diri dengan yang miskin. Karena disini, yang miskin tak pernah tahu bagaimana bisa menyesuaikan diri dengan yang kaya. Ya, bagaimana bisa?
Sedangkan Bandung, tampak sebegitu borjuis. Dan yang miskin pun, entah bagaimana mereka bisa, menyesuaikan diri dengan yang kaya itu. Dengan Nike ala cicadas, edward forrer made in cibaduyut, issey miyake pasar jumat salman. Yah, kota yang borjuis. Sebagaimana sejak semula meneer belanda membangun kota itu.
Kedamaian di tengah kesederhanaan. Sampai kapanpun, di tengah carut marut sekalipun, kesederhanaan akan tetap dapat membantu kita untuk melihat kehidupan sebagaimana seharusnya. Kesederhanaan selalu menampilkan semua—yang baik maupun buruk, yang sopan ataupun yang ndugal—apa adanya. Tak ada ego dan topeng yang dapat menutupi itu semua. Saat itulah kehidupan tampil sebagaimana seharusnya.
Di semarang, dalam keadaan seperti ini, kebenaran mudah terlihat, untuk kemudian diresapi, dijiwai, dan dibagi dengan mereka : orang-orang yang disekitar kita yang hatinya miskin karena didesak kemiskinan nafkah, yang jiwanya kering karena sawah dan bibir mereka kering kehausan.
Itulah mengapa saya selalu merindukan tanah jawa. Meski harus disekap terik sepanjang hari. Meski saya bukan keturunan jawa. Itulah mengapa hati ini masih merasa harus kembali ke semarang. Meski kenyamanan bandung yang memanjakan, dapat menawarkan sejuta kemudahan hidup.
Semoga tak tertahan kaki ini untuk kembali.
titip salam pada rumputan dan tanah-tanah rekah di belakang rumah.
kaki ini rindu untuk kembali berlarian di sawah-sawah tadah hujan itu.
1 comment:
Pulang, kenangan, dan kerinduan. Tiga kata tak terpisahkan yang senantiasa mendesak-desak ruang rasa tiap kali kembali ke suatu tempat yang kita anggap rumah. Karena tiga kata itu pula yang membedakan pengembaraan dan keberlabuhan, kelelahan dan kenyamanan, keterasingan dan kebersamaan.
Membaca tulisan Kang Firman tentang kepulangan ke Semarang, mau tak mau saya langsung diingatkan pada kampung halaman saya sendiri: Solo. Kampung halaman yang telah membesarkan saya selama delapan belas tahun, sebelum saya tinggalkan --mudah-mudahan hanya untuk sementara-- merantau ke Bandung. Bukan kebetulan tentu saja. Mungkin lebih karena sama-sama berada di tanah Jawa hingga kulturnya pun tak jauh beda.
Hari-hari ini ketika saya berkesempatan mengitari kota Solo kembali, ada sebongkah rasa haru membuncah. Solo masih sedamai yang dulu. Solo masih tetap menjadi kota yang tak pernah tidur, dengan banyaknya warung hik --warung gerobak sederhana yang buka malam hari-- bertebaran di seantero kota. Di situ orang-orang berkumpul melepas penat sehari sambil bertukar pikiran, bercanda, dan wedangan, juga sesekali mencomot kikil goreng atau tempe bacem.
Solo juga masih sebersahaja yang dulu. Meskipun resto-resto beken semacam Pizza Hut atau McDonald mulai membuka gerai-gerai baru, orang-orang lebih suka pergi beramai-ramai ke warung lesehan di pinggir-pinggir jalan. Di Solo, beberapa warung pinggir jalan malah lebih beken dibanding resto-resto beken, seperti warung tenda sepanjang Kota Barat, warung susu segar asli Boyolali, warung jagung bakar di depan Kantor Pos Besar, warung masakan ayam di Purwosari, warung nasi liwet di bilangan Keprabon, warung hik Mbok Gerok di depan Ursulin, atau warung hik Pak Kumis di Manahan. Orang-orang harus berebut tempat dan mengantri lama kalau ingin bersantap di tempat-tempat itu.
Bicara tentang Solo juga berarti bicara tentang sejarah panjang sebuah kota. Mulai dari kerajaan Mataram yang terbagi dua menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta (Solo) lewat perjanjian Giyanti, sampai terbaginya Keraton Surakarta menjadi Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Bangunan-bangunan tua bersejarah beserta ritual adat kejawaan seolah menjadi budaya yang tak terpisahkan dari desah nafas masyarakat Solo. Desing-desing akrab bahasa Jawa medhok yang selama ini asing di ranah Sunda, dapat dengan mudah saya ditemui di berbagai penjuru kota Solo.
Tapi tidak selamanya Solo bersikap stagnan. Kerinduan saya pada kota ini sedikit menipis kala menyadari adanya perubahan-perubahan signifikan. Solo jadi seperti kehilangan karakteristik khasnya: pusat-pusat perbelanjaan megah dibangun di sana sini; gaya hidup masyarakat lambat laun telah menggeliat menjadi lebih konsumtif dan borjuis; sikap masyarakat yang cenderung nrima mulai berubah menjadi lebih egois, semau gue, dan sulit diatur (masih ingat bagaimana Solo luluh lantak saat kerusuhan Mei 1998?); jumlah sepeda motor mulai tersisih oleh banyaknya mobil berseliweran akibat gengsi yang berlebihan; atau yang paling menyedihkan, lunturnya kebanggaan berbahasa Jawa di kalangan generasi muda (terutama usia pelajar). Saya sering geleng-geleng kepala menyaksikan mereka lebih merasa akrab berbincang dengan bahasa Indonesia. Tak ada salahnya memang, tapi kalau lantas mereka mulai meninggalkan bahasa Jawa sama sekali, pasti ada yang salah dengan ‘kejawaannya’. Jangankan berbahasa krama kepada orang tua, berbicara Jawa dengan teman sebaya saja mereka masih terbata-bata. Ck… ck…
Yah, berubah atau tidak berubah, Solo masih tetap kota kelahiran saya. Meskipun kedamaian dan kebersahajaan sedikit demi sedikit mulai terkikis, saya berharap masih ada nilai-nilai adiluhung bertahan dari generasi ke generasi. Saya tahu Solo tidak berubah sendirian. Mungkin demikian juga halnya dengan Semarang atau kota-kota lain di tanah Jawa yang dulu tampak sangat proletar dan tradisional. Berpuluh-puluh tahun ke depan saat Solo (mungkin sudah) kehilangan wajah aslinya, saya akan tetap punya kenangan manis tentang kejawaan, kedamaian, dan kebersahajaan kota ini. Dan kenangan itu pulalah yang akan selalu membawa saya menjejakkan kaki kembali di kota ini.
Post a Comment